“Bu, kenapa pelangi cuma muncul habis hujan?”
Pertanyaan itu datang dari Tania, siswi kelas V yang baru saja menatap langit sore dari jendela kelas.
Alih-alih langsung menjawab, Bu Maya tersenyum dan balik bertanya,
“Menurutmu, kenapa, ya? Apa mungkin ada hubungan antara air dan cahaya matahari?”
Dari situlah pelajaran IPA sore itu dimulai — bukan dari buku teks, bukan dari papan tulis, tapi dari rasa ingin tahu seorang anak.
💡 Belajar dari Pertanyaan, Bukan Hanya Jawaban
Bagi Bu Maya, pelajaran sains bukan soal memberi jawaban paling benar, tetapi mengajarkan cara menemukan kebenaran lewat proses.
Ia lalu mengajak murid-muridnya ke halaman sekolah. Di tangan mereka, cermin kecil dan baskom berisi air.
“Sekarang, coba arahkan cerminnya ke matahari dan lihat pantulannya di tembok,” ujarnya.
Beberapa detik kemudian, suara riuh memenuhi halaman.
“Bu! Warnanya kayak pelangi!”
“Berarti benar, ya, pelangi muncul karena cahaya kena air?”
Bu Maya tersenyum bangga. Dalam momen sederhana itu, anak-anak menemukan sendiri jawaban yang mereka cari.
🌱 Inquiry: Menumbuhkan Rasa Ingin Tahu Sejak Dini
Pendekatan inquiry-based learning mengajarkan siswa untuk belajar seperti ilmuwan kecil — mengamati, bertanya, mencoba, dan menarik kesimpulan.
Anak-anak tidak hanya menerima ilmu, tetapi menciptakan makna dari pengalaman mereka sendiri.
Bu Maya percaya bahwa setiap anak lahir dengan rasa ingin tahu alami.
Tugas guru bukan memadamkannya dengan hafalan, tetapi menyalakannya lewat pengalaman yang menantang dan menyenangkan.
“Ketika anak bertanya ‘mengapa’, di situlah pintu belajar terbuka,” katanya.
🧠Dari Percobaan ke Keterampilan Abad 21
Selama kegiatan inquiry, siswa tak hanya belajar konsep sains, tapi juga keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills).
Mereka belajar:
- Critical Thinking: menebak dan menguji dugaan dengan bukti nyata,
- Collaboration: bekerja sama dalam kelompok kecil,
- Communication: mempresentasikan hasil temuannya di depan kelas,
- Creativity: mencari cara baru saat percobaan tidak berhasil.
Inquiry tidak hanya mengajarkan sains, tapi juga menyiapkan mereka menghadapi dunia yang berubah cepat.
🧪 Ketika Gagal pun Jadi Ilmu
Tidak semua percobaan di kelas Bu Maya berhasil.
Pernah suatu kali, anak-anak mencoba membuat “hujan buatan” di toples kaca, tapi airnya tidak mau menguap seperti di video.
Alih-alih kecewa, Bu Maya bertanya,
“Kalau percobaan kita gagal, apa artinya kita salah?”
Murid-murid terdiam.
“Tidak, Bu,” jawab Raka akhirnya. “Berarti kita harus cari tahu kenapa gagal.”
Bagi Bu Maya, gagal adalah bagian dari proses berpikir ilmiah.
Ia ingin murid-muridnya memahami bahwa belajar bukan tentang benar atau salah, melainkan tentang berani mencoba dan tidak berhenti bertanya.
🌈 Refleksi: Menjadi Guru yang Menyalakan Rasa Ingin Tahu
Mengajar dengan inquiry memang butuh waktu lebih lama. Kadang kelas jadi lebih ramai, lebih kotor, dan lebih ribut.
Tapi di situlah keindahannya — anak-anak benar-benar hidup dalam proses belajar.
Bu Maya sering berkata kepada rekan gurunya,
“Kalau anak sudah mulai banyak bertanya, tandanya mereka sedang belajar sungguh-sungguh.”
Ia percaya, guru tidak harus selalu punya semua jawaban.
Kadang, peran terbaik guru adalah menjadi teman eksplorasi — seseorang yang menuntun anak menemukan makna dari setiap pertanyaan kecilnya.
🌻 Pesan untuk Guru dan Sekolah
Pendekatan inquiry bukan sekadar strategi mengajar IPA.
Ia adalah cara berpikir dan cara mendidik.
Mulailah dari hal sederhana:
- Biarkan anak bertanya sebelum pelajaran dimulai,
- Ajak mereka melakukan pengamatan di sekitar sekolah,
- Diskusikan hasilnya tanpa terburu-buru menyimpulkan.
Kelas yang baik bukan yang paling sunyi, tapi yang paling penuh tanya.
Karena dari satu pertanyaan polos seperti “Kenapa pelangi muncul?”, anak-anak bisa belajar tentang cahaya, warna, air, dan bahkan tentang keindahan mencari tahu.

0 Komentar