Pagi itu, kelas IV SD Nusantara berubah jadi bengkel kecil. Di atas meja-meja kayu, botol bekas, batu kerikil, arang, dan kain kasa tersusun rapi. Suara riuh rendah anak-anak terdengar bersahutan.
“Pak, airnya masih keruh!” seru Dina sambil mengangkat botol plastik yang baru saja mereka rakit.
Pak Rifqi tersenyum. “Coba cek lagi urutan lapisan filternya. Apa sudah sesuai yang kita rancang kemarin?”
Hari itu bukan pelajaran IPA biasa. Anak-anak sedang belajar tentang sains, teknologi, teknik, seni, dan matematika — atau yang dikenal dengan pendekatan STEAM.
Dan semua itu berawal dari satu masalah sederhana: bagaimana cara membuat air kotor menjadi jernih.
💧 Sains yang Hidup di Tangan Anak-Anak
“Kalau kita hanya bicara tentang sifat air di papan tulis, anak-anak cepat lupa,” kata Pak Rifqi suatu kali. “Tapi kalau mereka menyentuh, mencoba, dan mencium hasilnya — itu akan melekat lama.”
Itulah mengapa ia memutuskan untuk membuat proyek filter air sederhana.
Anak-anak dibagi dalam kelompok kecil, masing-masing diberi tugas berbeda.
Ada yang meneliti jenis bahan yang bisa menyerap kotoran air, ada yang menggambar desain filter, dan ada pula yang menghitung perbandingan bahan.
Di sinilah sains tidak lagi menjadi kumpulan rumus, tapi perjalanan eksplorasi yang penuh rasa ingin tahu.
🧠 Ketika Teknologi dan Seni Ikut Turun Tangan
Setelah filter selesai, anak-anak diajak menggunakan tablet sekolah. Mereka mencari video dan infografik tentang siklus air dan cara kerja filtrasi alami di alam.
“Berarti, kita meniru cara bumi membersihkan airnya sendiri, ya Pak?” tanya Rafi.
Pak Rifqi mengangguk bangga. “Itu dia. Kita belajar dari alam — dan itu inti dari sains.”
Tapi pembelajaran tidak berhenti di situ. Anak-anak juga membuat poster hasil karya mereka, lengkap dengan gambar, warna, dan judul kreatif seperti “Airku Jernih, Bumi Pun Bersih!”.
Seni hadir bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai alat komunikasi ilmiah — membuat sains terasa lebih dekat dan indah.
📏 Matematika yang Bisa Diukur dan Dirasakan
Dalam setiap kelompok, ada anak yang bertugas mencatat volume air sebelum dan sesudah disaring.
“Pak, air yang kedua ini lebih jernih, tapi jumlahnya berkurang,” ujar Yani.
“Nah, itu dia gunanya menghitung,” jawab Pak Rifqi sambil menunjuk tabel pengamatan. “Kalian baru saja menemukan bahwa ada proses penyerapan. Itu sains dan matematika bekerja bersama.”
Anak-anak tertawa, tapi diam-diam mereka mulai memahami konsep pengukuran, perbandingan, dan efisiensi tanpa merasa sedang “belajar rumus”.
Mereka sedang merasakan matematika lewat pengalaman nyata.
🤝 STEAM: Bukan Hanya Proyek, Tapi Sikap Belajar
Dari proyek kecil itu, banyak hal tumbuh dalam diri anak-anak. Mereka belajar berpikir kritis, karena harus mencari solusi saat filter gagal.
Mereka juga belajar berkolaborasi, karena tidak semua ide langsung diterima kelompok.
Dan yang paling penting, mereka belajar komunikasi dan kepercayaan diri, ketika harus menjelaskan hasil proyeknya di depan kelas.
STEAM bukan hanya tentang lima disiplin ilmu, tapi tentang membentuk cara berpikir yang menyatukan logika, kreativitas, dan empati.
🌈 Refleksi: Guru Sebagai Perancang Petualangan
Bagi Pak Rifqi, mengajar dengan pendekatan STEAM bukan berarti harus punya laboratorium canggih atau alat mahal.
Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk memberi ruang bagi anak bereksperimen dan berimajinasi.
Kadang, proyek sederhana dari barang bekas bisa menyalakan semangat belajar yang tak pernah padam.
Karena sejatinya, setiap kelas punya potensi menjadi laboratorium kehidupan — tempat di mana anak-anak bukan sekadar belajar tentang dunia, tapi juga belajar bagaimana menjadi bagian dari solusi.
🌻 Pesan untuk Guru
Di era Kurikulum Merdeka, guru tidak lagi cukup hanya mengajar konsep.
Kita ditantang untuk menciptakan pengalaman belajar yang membuat anak berpikir, merasa, dan bertindak.
STEAM adalah salah satu jalannya.
Tidak perlu menunggu fasilitas lengkap. Mulailah dari hal kecil — dari sebotol air kotor yang ingin dijernihkan, dari selembar kertas bergambar, atau dari tanya polos seorang anak: “Pak, kenapa air bisa berubah?”
Karena dari pertanyaan kecil itulah, ilmu, kreativitas, dan cinta belajar akan terus tumbuh.

0 Komentar