Pagi itu, suasana kelas Ibu Bibah berbeda dari biasanya.
Di papan tulis, bukan rumus atau tabel periodik yang tertera, melainkan tulisan besar berwarna biru:
“Mengapa Bumi Tidak Jatuh ke Angkasa?”
Seketika anak-anak mulai bersuara.
“Karena ada langit yang menahannya, Bu!” seru Dira.
“Enggak, Bu, karena Bumi punya gravitasi!” balas Rafi.
Ibu Bibah tersenyum. Ia tahu, pagi ini bukan hanya tentang menjawab pertanyaan, tapi melatih anak-anak untuk berpikir ilmiah, membaca makna, dan berani menebak.
🌱 Ketika Literasi dan Sains Bertemu
Bagi Ibu Bibah, literasi sains tidak hanya tentang menghafal konsep IPA.
Ia adalah kemampuan memahami dunia melalui bahasa, bacaan, dan rasa ingin tahu.
Setiap pekan, Ibu Bibah punya kebiasaan kecil: membuka pelajaran sains dengan cerita atau artikel ringan bertema alam.
Kadang tentang semut yang bekerja sama membawa daun, kadang tentang hujan yang lahir dari uap air, atau kisah penemuan lampu oleh Edison.
Anak-anak membaca dengan mata berbinar.
Setelahnya, mereka berdiskusi, membuat gambar, atau menulis ulang cerita itu dengan kata-kata mereka sendiri.
Tanpa disadari, mereka sedang berlatih membaca, memahami, dan menalar secara ilmiah.
🔍 Membaca untuk Memahami, Bukan Sekadar Mengucap
Ibu Bibah tahu, banyak siswa bisa membaca teks dengan lancar, tapi tidak selalu memahami isinya.
Karena itu, ia sering mengajak anak-anak membongkar makna di balik kata-kata sains.
Ketika membaca kalimat “Air menguap karena panas,” ia bertanya,
“Panas itu apa sih? Dari mana datangnya?”
Pertanyaan sederhana itu membuat anak-anak berpikir, mengaitkan pengalaman, dan mulai menyusun pengetahuan sendiri.
“Itulah literasi sains,” ujar Ibu Bibah, “ketika anak tidak hanya bisa membaca kata, tapi juga memahami dunia di balik kata itu.”
🧠 Bahasa sebagai Pintu Ilmu
Hasil pengamatan Ibu Bibah sejalan dengan banyak penelitian: kemampuan bahasa dan membaca sangat memengaruhi literasi sains anak.
Anak yang sering membaca dan berdiskusi memiliki kosakata yang lebih kaya, sehingga lebih mudah memahami teks ilmiah.
Itulah sebabnya Ibu Bibah rajin mengisi pojok baca kelasnya dengan buku cerita sains bergambar:
“Petualangan Si Atom,” “Rahasia Pelangi,” “Tetes Air yang Berkelana.”
Setiap selesai membaca, anak-anak menulis satu kalimat kesimpulan:
“Hari ini aku tahu bahwa pelangi muncul karena cahaya dan air bekerja sama.”
Sederhana, tapi bermakna. Di situlah bahasa, imajinasi, dan logika bertemu.
🧪 Ketika Cerita Menjadi Eksperimen
Suatu hari, setelah membaca kisah “Petualangan Si Tetes Air,” Ibu Bibah mengajak anak-anak melakukan eksperimen kecil:
menguapkan air di bawah sinar matahari.
Mereka mencatat hasilnya dengan penuh semangat.
“Bu, airnya berkurang!” seru Dira.
“Artinya apa, Nak?”
“Artinya, cerita tadi benar, Bu. Air bisa hilang karena panas!”
Anak-anak tak hanya memahami teks, tapi juga membuktikan kebenaran ilmiahnya.
Buku tidak lagi sekadar bacaan, tapi peta menuju penemuan.
🌈 Menumbuhkan Cinta Belajar Lewat Cerita
Bagi Ibu Bibah, keberhasilan mengajar bukan diukur dari seberapa banyak teori yang dihafal anak-anaknya,
tetapi dari seberapa sering mereka berkata,
“Bu, aku mau tahu kenapa ini bisa terjadi!”
Ia percaya, anak yang terbiasa membaca dan bertanya akan tumbuh menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Karena literasi sains sejatinya bukan hanya tentang sains, tapi tentang rasa ingin tahu, kemampuan berpikir kritis, dan empati terhadap alam.
🌻 Refleksi untuk Guru dan Sekolah
Menumbuhkan literasi sains tidak selalu membutuhkan laboratorium mahal.
Kadang, ia tumbuh dari cerita sederhana, diskusi kecil, dan satu pertanyaan polos dari anak.
Beberapa langkah kecil yang bisa dilakukan guru:
- Ajak anak membaca teks sains ringan sebelum percobaan.
- Bahas makna kata-kata ilmiah dengan bahasa sederhana.
- Hubungkan bacaan dengan pengalaman nyata di sekitar mereka.
- Biarkan anak menulis kembali apa yang mereka pahami dengan gaya sendiri.
Setiap kali anak membaca dan menafsirkan dunia dengan pikirannya, di situlah literasi sains tumbuh.

0 Komentar