Pagi itu, Bu Ucik berdiri di depan kelasnya yang berisi 32 anak kelas 4 SD.
Suasana masih riuh — beberapa anak asyik menggambar, yang lain sibuk bercerita tentang hewan peliharaannya.
Di tengah hiruk pikuk itu, Bu Ucik tersenyum kecil. Dalam hatinya ia tahu, tidak ada dua anak yang belajar dengan cara yang sama.
Ada Rafi, si cepat tangkap yang selalu selesai duluan.
Ada Dila, yang baru paham setelah dijelaskan lewat gambar.
Dan ada Arka, yang lebih suka belajar sambil bergerak dan bermain.
“Kalau aku mengajar dengan cara yang sama untuk semuanya,” pikir Bu Ucik,
“pasti ada yang tertinggal.”
🌱 Awal dari Perubahan
Minggu itu, sekolah Bu Ucik mengadakan pelatihan tentang pembelajaran berdiferensiasi.
Awalnya, ia mengira ini hanya tren baru yang rumit. Tapi saat mendengar penjelasan pelatihnya, Bu Ucik seperti mendapat “klik” di kepalanya.
“Diferensiasi bukan berarti membuat tiga puluh rencana untuk tiga puluh murid,”
kata pelatihnya, “tetapi bagaimana satu pelajaran bisa punya banyak cara agar semua anak merasa terlibat.”
Kalimat itu menancap kuat di hati Bu Ucik.
Sejak saat itu, ia berjanji untuk mencoba sesuatu yang baru di kelasnya — meski sedikit demi sedikit.
🎨 Kelas yang Punya Banyak Cara Belajar
Hari Senin berikutnya, Bu Ucik membawa ide segar ke pelajaran IPA tentang perubahan wujud benda.
Kali ini, ia tidak hanya menulis rumus di papan. Ia memberikan tiga pilihan kegiatan kepada muridnya:
- Kelompok eksperimen, yang mencoba mencairkan es dan mencatat hasilnya.
- Kelompok ilustrasi, yang menggambar proses perubahan wujud benda.
- Kelompok cerita, yang menulis kisah imajinatif tentang perjalanan sebutir es menjadi uap.
Anak-anak bebas memilih.
Dan ajaib — kelas yang biasanya gaduh kini berubah jadi hidup dan fokus.
Rafi bersemangat memimpin eksperimen, Dila menggambar dengan percaya diri, dan Arka — yang biasanya sulit duduk diam — kini sibuk berlari-lari kecil mencatat hasil percobaannya.
Bu Ucik tersenyum lebar. Ia sadar, belajar itu bukan siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling terlibat.
💡 Dari Teori ke Hati: Apa Itu Pembelajaran Berdiferensiasi?
Pembelajaran berdiferensiasi bukan sekadar teknik, tapi cara berpikir baru dalam pendidikan.
Menurut Carol Ann Tomlinson, diferensiasi berarti menyesuaikan cara mengajar berdasarkan:
-
Kesiapan siswa, seberapa jauh pemahamannya terhadap materi,
-
Minat siswa, hal yang membuatnya antusias belajar, dan
-
Profil belajar, cara terbaik setiap anak memahami sesuatu.
Dengan menyesuaikan konten, proses, dan produk belajar, guru membantu setiap anak mencapai tujuan yang sama — tapi lewat jalur yang berbeda.
Kebijakan Kurikulum Merdeka pun mendukung hal ini. Guru kini diberi ruang untuk menjadi desainer pengalaman belajar, bukan sekadar penyampai materi.
📱 Teknologi, Sahabat Baru Bu Ucik
Suatu hari, Bu Ucik memutuskan untuk mencoba papan pilihan digital lewat Google Classroom.
Anak-anak boleh memilih cara belajar: menonton video, membaca teks singkat, atau bermain kuis interaktif di Wordwall.
“Bu, aku jadi bisa ulang videonya sampai paham!” kata Dila dengan mata berbinar.
“Bu, aku bikin kuis baru buat teman-teman!” tambah Rafi penuh semangat.
Teknologi membuat kelasnya semakin hidup.
Namun Bu Ucik tahu, teknologi hanyalah alat — bukan pengganti sentuhan manusiawi seorang guru.
🌤️ Tantangan yang Masih Ada
Tentu perjalanan Bu Ucik tidak selalu lancar.
Kadang waktu terasa kurang, apalagi ketika harus mengamati 32 anak dengan gaya belajar berbeda.
Ada juga hari di mana koneksi internet lambat, atau rencana pembelajaran tidak berjalan seperti bayangan.
Tapi Bu Ucik tidak menyerah.
Ia bergabung dengan komunitas guru penggerak di daerahnya, berbagi ide dan refleksi dengan guru lain.
Setiap pertemuan membuatnya yakin: mengajar dengan hati butuh waktu, tapi setiap langkah kecil membawa perubahan besar.
🌼 Makna yang Lebih Dalam
Bagi Bu Ucik, pembelajaran berdiferensiasi bukan hanya strategi kelas.
Ini adalah bentuk penghargaan terhadap kemanusiaan di ruang belajar.
Setiap anak punya ritme dan cara belajar sendiri.
Tugas guru bukan menyeragamkan mereka, tetapi membantu setiap anak tumbuh sesuai potensinya.
Di akhir semester, Bu Ucik menulis dalam jurnal refleksinya:
“Sekarang aku tidak lagi bertanya, siapa muridku yang paling pintar.
Aku lebih sering bertanya, siapa yang hari ini menemukan cara belajarnya sendiri.”
✨ Penutup: Sekolah yang Ramah untuk Semua
Dari kisah Bu Ucik, kita belajar bahwa pembelajaran berdiferensiasi bukan sekadar teori dari buku —
melainkan napas baru dalam dunia pendidikan.
Dengan memahami murid, memberi mereka pilihan, dan mendengarkan suara mereka, guru bisa menciptakan ruang belajar yang benar-benar berpihak pada anak.
Karena pada akhirnya, sekolah bukan tempat untuk mencetak anak yang sama,
melainkan tempat di mana setiap anak bisa menjadi versi terbaik dirinya sendiri.

0 Komentar