Bayangkan kamu seorang siswa SD bernama Raka. Setiap pagi, Raka masuk kelas dengan buku-buku di tasnya. Tapi berbeda dengan ayahnya dulu, pelajaran Raka sekarang tidak hanya berhenti pada membaca, menulis, dan berhitung.
“Bu Guru, boleh nggak saya cari informasi di internet buat tugas ini?” tanya Raka saat belajar sains.
“Boleh sekali. Justru itu yang Ibu harapkan. Coba cari, lalu ceritakan pada teman-temanmu,” jawab Bu Guru sambil tersenyum.
Itulah gambaran sederhana kurikulum multiliterasi: anak tidak hanya belajar dari buku, tapi juga dari internet, media digital, budaya, bahkan lingkungan sekitar.
Dari KTSP sampai Merdeka Belajar
Perjalanan pendidikan kita mirip perjalanan panjang sebuah kapal.
- Tahun 2006, kapal bernama KTSP berlayar, memberi kebebasan sekolah untuk menyesuaikan pelajaran dengan kondisi lokal.
- Tahun 2013, lahirlah Kurikulum 2013, yang menekankan kompetensi, karakter, dan pembelajaran aktif.
- Tahun 2020, muncullah Merdeka Belajar, di mana siswa seperti Raka bisa lebih bebas memilih jalur belajar sesuai minat.
- Dan kini, kita masuk era Deep Learning, di mana teknologi jadi teman belajar, membuat pengalaman belajar lebih personal dan mendalam.
Bekal Abad 21
Suatu hari, Raka dan teman-temannya diminta membuat proyek kelompok. Mereka harus merancang solusi untuk mengurangi sampah plastik di sekolah.
- Raka berlatih berpikir kritis: mencari data tentang sampah.
- Nisa berkreasi dengan ide membuat bank sampah digital (creativity).
- Bima mengajak semua bekerja sama (collaboration).
- Mereka mempresentasikan ide ke seluruh kelas (communication).
- Bu Guru menekankan pentingnya peduli lingkungan (citizenship).
- Dan semua belajar untuk jujur, bertanggung jawab, dan menghargai pendapat teman (character).
Tanpa sadar, mereka sedang mempraktikkan 6C’s – keterampilan yang menjadi bekal penting anak-anak abad 21.
Tantangan yang Dihadapi
Tentu tidak selalu mulus. Ada teman Raka yang kesulitan ikut proyek karena di rumahnya tidak ada internet. Ada juga guru yang masih bingung memakai aplikasi pembelajaran. Tapi di sinilah letak tantangannya: bagaimana pendidikan bisa tetap merata meski kondisi tiap daerah berbeda?
Menuju Masa Depan
Di akhir semester, Raka berkata pada ibunya,
“Bu, aku nggak cuma belajar pelajaran sekolah. Aku juga belajar cara berpikir, bekerja sama, dan menghadapi masalah dunia.”
Sang ibu tersenyum, “Itulah tujuan sekolah sekarang, Nak. Supaya kamu siap menghadapi masa depan, bukan hanya ujian.”
Kurikulum multiliterasi adalah cerita perjalanan kita bersama: guru, siswa, dan orang tua. Sebuah upaya agar anak-anak Indonesia tumbuh bukan hanya cerdas, tapi juga kritis, kreatif, berkarakter, dan siap menjadi warga dunia.



0 Komentar