Ticker

6/recent/ticker-posts

“Anak Bukan Konten, Bukan Objek: Saatnya Pendidikan dan Penelitian Berhati Nurani”

 

Belajar Etika Penelitian Anak agar Ilmu Pengetahuan Tidak Kehilangan Rasa Kemanusiaan

Bayangkan sebuah kelas kecil di sebuah SD. Seorang guru datang dengan kuesioner untuk penelitian, atau mungkin sekadar merekam kegiatan belajar lalu mengunggahnya ke media sosial. Anak-anak pun tertawa, bercanda, dan tanpa banyak pikir mereka ikut saja.

Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak untuk bertanya: apakah anak-anak itu benar-benar paham apa yang sedang terjadi? Apakah mereka punya pilihan untuk menolak?

Di sinilah kita diingatkan, anak-anak bukan sekadar “objek penelitian” atau “konten media sosial”. Mereka adalah manusia kecil dengan hak, perasaan, dan suara yang seharusnya dihormati.


Hak Anak: Lebih dari Sekadar Data atau Konten

Konvensi Hak Anak PBB (UNCRC) menegaskan bahwa anak punya tiga hak utama yang wajib dijaga, baik dalam penelitian maupun dalam publikasi di media sosial:

  • Hak untuk berpartisipasi → anak berhak menyampaikan pendapat, termasuk menolak.
  • Hak untuk dilindungi → jangan sampai partisipasi mereka menimbulkan risiko, trauma, atau perundungan.
  • Hak atas informasi → anak perlu tahu untuk apa data, foto, atau video mereka digunakan.

Jika dalam penelitian ilmiah anak harus dilindungi, apalagi di era digital di mana wajah mereka bisa tersebar luas hanya dalam hitungan detik.




Tantangan Etis di Dunia Nyata dan Dunia Maya

Praktiknya, guru dan peneliti sering menghadapi dilema:

  • Siapa yang harus memberi izin? Orang tua saja, atau anak juga?
  • Apakah anak benar-benar mengerti konsekuensi jika wajahnya diunggah?
  • Bagaimana jika mereka diam padahal sebenarnya tidak nyaman?

Sering kali, niat guru baik—ingin berbagi metode mengajar atau kebanggaan pada murid. Tapi tanpa sadar, anak bisa terekspos risiko: mulai dari komentar negatif, perundungan online, hingga penyalahgunaan foto.


Tanggung Jawab Guru dan Peneliti Sama Besarnya

Baik guru maupun peneliti, sama-sama punya tanggung jawab besar dalam menjaga hak dan martabat anak:

  • Gunakan izin tertulis dari orang tua sebelum mengunggah atau melibatkan anak.
  • Tanyakan pendapat anak, bukan hanya formalitas, tapi sungguh-sungguh mendengarkan.
  • Jaga privasi, hindari konten sensitif seperti wajah anak saat menangis, melakukan kesalahan, atau dalam situasi pribadi.
  • Fokus pada kegiatan, bukan identitas—misalnya memotret dari belakang atau menggunakan ikon penutup wajah.

Contoh Kasus Viral: Ketika Guru dan Medsos Bertabrakan

Fenomena ini bukan sekadar teori. Beberapa kasus nyata di Indonesia menunjukkan betapa seriusnya masalah privasi anak di dunia digital:

  1. Sorong, Papua Barat Daya — Denda Rp 100 Juta. Seorang guru SMP dituntut keluarga siswa karena mengunggah video aktivitas anak ke media sosial tanpa izin. Keluarga menilai itu melanggar privasi dan norma adat setempat.
  2. Tabanan, Bali — Foto “Pose Sensual” Siswi. Seorang guru SMP mengunggah foto siswi dengan pose tertentu di media sosial. Meski ada izin orang tua, Dinas Pendidikan tetap memberikan teguran keras karena dinilai tidak pantas. 
  3. Bandung Barat — Video Ujian Biologi. Seorang guru SMA viral karena mengunggah video siswa yang diminta menggambar alat kelamin dalam ujian biologi. Meski maksudnya untuk pembelajaran, publik menilai konten itu melanggar etika.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa izin orang tua saja tidak cukup. Ada aspek etika, martabat, dan dampak psikologis anak yang harus dipertimbangkan.


Belajar dari Prinsip Etika Penelitian Anak

Dalam penelitian ilmiah, ada Ethics Review Board (ERB) yang berperan sebagai “penjaga gerbang” etika, memastikan anak tidak dieksploitasi.

Mungkin sudah saatnya dunia pendidikan digital juga punya kesadaran serupa: sebelum mengunggah wajah murid ke media sosial, guru perlu menimbang risiko, meminta izin, dan mendengar suara anak.


 Hormati Anak di Dunia Nyata maupun Dunia Maya

Anak-anak bukan sekadar objek penelitian, dan juga bukan pajangan di feed media sosial. Mereka adalah manusia kecil yang layak dihargai.

Baik di ruang akademik maupun digital, prinsipnya sama: jangan sampai demi data atau konten, kita mengorbankan hak, martabat, dan masa depan anak

Posting Komentar

0 Komentar