Di suatu pagi yang cerah di sebuah sekolah dasar di tengah kota, suara bel notifikasi dari tablet belajar terdengar bersahut-sahutan.
Anak-anak dengan lincah membuka layar, menjawab kuis interaktif, dan mengirim tugas lewat aplikasi belajar.
“Anak-anak, jangan lupa isi refleksi harian di Google Form, ya,” ujar
Bu Rina, guru kelas lima yang sudah terbiasa mengelola pembelajaran digital.
Sementara itu, beberapa ratus kilometer dari sana, di sebuah desa di lereng pegunungan, Pak Darto sedang memeriksa papan tulis. Ia tersenyum ketika melihat murid-muridnya berlari masuk kelas sambil membawa buku tulis lusuh. Tidak ada tablet, tidak ada internet—tapi ada semangat yang sama: belajar.
Dua Dunia, Dua Tantangan
Bu Rina percaya bahwa pendidikan digital membuka peluang besar.
Di kelasnya, anak-anak bisa mengakses video pembelajaran dari luar negeri, berinteraksi lewat forum belajar,
bahkan membuat proyek sains sederhana dengan bantuan AI.
“Teknologi membuat mereka lebih mandiri dan kreatif,” katanya dengan bangga.
Namun, di sisi lain, ia juga menyadari efek sampingnya. Anak-anak menjadi cepat bosan jika tak ada layar,
lebih sulit fokus mendengarkan cerita panjang, dan kadang lupa mengucapkan salam karena sibuk mengetik di tablet.
“Nilai karakter itu seperti sinyal juga,” katanya sambil tersenyum pahit.
“Kalau tak dijaga, bisa hilang di antara jaringan.”
Pak Darto dan Hikmah dari Keterbatasan
Sementara itu, Pak Darto di desa menghadapi tantangan lain: keterbatasan akses digital. Hanya ada satu laptop di sekolahnya, itu pun sudah berumur sepuluh tahun. Tapi ia tidak menyerah. Ia mengajarkan anak-anak menggambar peta digital menggunakan kertas milimeter blok dan menceritakan bagaimana Google Maps bekerja.
“Anak-anak, nanti kalau kalian ke kota, kalian harus tahu cara mencari tempat pakai peta digital,” ujarnya.
Bagi Pak Darto, karakter lebih penting dari kecanggihan.
Ia mengajarkan tanggung jawab, disiplin, dan rasa ingin tahu sebelum memperkenalkan teknologi.
“Gadget itu alat, Nak. Tapi yang memegang alat harus lebih pintar dari alatnya.”
Pro dan Kontra yang Tak Pernah Usai
Di ruang-ruang diskusi guru, topik ini sering muncul:
Apakah sekolah dasar sudah seharusnya digital?
Atau sebaiknya tetap fokus pada pembentukan karakter dan interaksi nyata?
Yang Pro:
- Anak-anak perlu dikenalkan pada dunia digital sejak dini agar tak gagap teknologi.
- Pembelajaran jadi lebih menarik dan variatif.
- Guru bisa lebih mudah menilai dan memantau perkembangan siswa.
Yang Kontra:
- Terlalu dini mengenalkan gadget bisa menurunkan empati dan konsentrasi anak.
- Banyak keluarga di desa belum siap dengan fasilitas digital.
- Nilai-nilai seperti sopan santun, kerja sama, dan kejujuran lebih mudah ditanamkan lewat interaksi langsung.
Menemukan Titik Tengah
Mungkin, solusinya bukan memilih salah satu.
Digitalisasi dan pendidikan karakter tidak harus bersaing—keduanya bisa bersinergi.
Bayangkan jika tablet digunakan bukan hanya untuk kuis, tapi juga untuk menulis jurnal reflektif tentang kejujuran. Atau aplikasi video digunakan untuk merekam anak-anak membantu orang tua di rumah sebagai proyek karakter.
Teknologi bisa jadi jembatan, bukan penghalang, asalkan manusia yang menggunakannya tetap berpijak pada nilai.
Penutup: Antara Gadget dan Hati
Saat matahari sore menembus jendela kelasnya, Bu Rina menatap murid-muridnya yang sibuk menggambar di tablet. Ia berkata dalam hati, “Semoga mereka bukan hanya pintar membuka aplikasi, tapi juga membuka hati.”
Dan di kejauhan, di desa yang sinyalnya kadang putus-nyambung, Pak Darto menulis di papan tulis dengan kapur putih:
“Ilmu itu cahaya, karakter itu pelita. Tanpa pelita, cahaya bisa membutakan.”
🖋️ Tagar: #PendidikanDigital #KarakterAnak #SekolahDasar #GuruBerinovasi #CeritaPendidikan

0 Komentar