Ticker

6/recent/ticker-posts

Belajar atau Lomba Terus? Saat Sekolah Lupa Hak Anak untuk Bermain




Pagi itu, halaman sekolah tampak sibuk. Spanduk besar terbentang di pagar bertuliskan “Selamat! Juara Umum Lomba Cerdas Cermat Se-Kecamatan.” Anak-anak berseragam rapi, beberapa membawa piala berkilau. Para guru tersenyum bangga, kepala sekolah bertepuk tangan. Semua tampak bahagia. Tapi di sudut halaman, ada seorang anak bernama Rafi yang menatap piala itu diam-diam, dengan ekspresi campur aduk.

“Bu, apa semua anak harus ikut lomba supaya bisa dibilang pintar?” tanya Rafi pelan saat pelajaran selesai. Bu Rina, gurunya, sempat tertegun. Pertanyaan itu sederhana, tapi mengandung makna yang dalam.

Ketika Sekolah Mulai Sibuk Berlari

Beberapa tahun terakhir, sekolah memang sibuk sekali. Hampir setiap minggu ada undangan lomba — dari sains, bahasa, hingga kebersihan kelas. Guru-guru berlomba melatih siswa terbaiknya. Anak-anak yang terpilih mengikuti pembinaan tambahan hingga sore. Yang tidak ikut lomba, kadang hanya menjadi penonton setia.

“Rafi, kamu bantu doa saja ya untuk teman-temanmu yang lomba,” kata Bu Rina suatu hari. Rafi mengangguk, tapi di hatinya muncul pertanyaan: apakah belajar itu hanya untuk lomba?

Anak yang Belajar untuk Nilai, Bukan untuk Ilmu

Suatu sore, Rafi mencoba mengerjakan soal latihan lomba yang tersisa di kelas. Ia bingung, tapi terus mencoba. Ketika temannya datang mengajak bermain bola, ia menolak.

“Nanti saja, aku harus latihan dulu,” katanya. Namun, semakin banyak ia latihan, semakin lelah ia merasa. Ia tidak menikmati belajar — hanya takut tidak bisa seperti teman-temannya yang juara.

Bu Rina memperhatikan perubahan itu. Ia tahu Rafi rajin, tapi wajahnya kini tampak tegang setiap kali belajar. Suatu hari, ia berkata, “Rafi, belajar itu bukan untuk lomba, Nak. Ilmu itu untuk hidupmu, bukan untuk piala.”

Kata-kata itu menancap dalam hati Rafi.

Waktu Bermain yang Hilang

Hari Sabtu biasanya waktu bermain anak-anak. Tapi kini, lapangan sekolah kosong. Anak-anak “tim lomba” berlatih di ruang kelas, sementara yang lain ikut les tambahan. Tawa yang dulu ramai, perlahan hilang.

Padahal, dari bermainlah anak-anak belajar hal-hal penting yang tidak bisa diajarkan lewat buku: berbagi, menunggu giliran, menghargai teman. Bermain adalah cara alami anak memahami dunia — bukan sekadar mengisi waktu kosong.

Ketika Guru Pun Mulai Merenung

Suatu sore setelah lomba selesai, Bu Rina duduk di ruang guru sambil menatap tumpukan sertifikat. Ia bangga, tentu saja. Sekolahnya semakin dikenal. Tapi entah mengapa, hatinya terasa sepi.

Ia teringat Rafi dan beberapa siswa lain yang kini jarang tersenyum. “Apakah kami terlalu sibuk mengejar juara, sampai lupa membuat mereka bahagia?” gumamnya pelan.

Sejak hari itu, Bu Rina mulai mengubah sedikit cara mengajarnya. Ia membuat jam bermain di sela pelajaran, memberi waktu anak-anak berdiskusi tanpa tekanan, dan bahkan mengajak mereka menggambar atau menulis bebas. Dan ajaibnya, anak-anak kembali bersemangat. Belajar terasa hidup lagi.

Keseimbangan yang Membuat Anak Tumbuh

Bu Rina akhirnya menyadari satu hal: pendidikan bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling berkembang. Lomba memang penting — untuk melatih keberanian dan tanggung jawab. Tapi jika semua waktu anak dihabiskan untuk mengejar juara, maka sekolah kehilangan jiwanya.

Anak-anak bukan mesin prestasi. Mereka butuh waktu untuk memahami, untuk gagal, dan juga untuk bermain. Mereka butuh ruang untuk tumbuh, bukan sekadar dibentuk.

Penutup: Sekolah yang Membahagiakan

Kini, di sekolah Bu Rina, spanduk “Selamat Juara” masih ada, tapi ada juga spanduk lain bertuliskan: “Kami Bangga Menjadi Sekolah yang Bahagia.”

Rafi kini lebih sering tersenyum. Ia masih suka belajar, tapi tidak lagi takut. Ia tahu bahwa belajar bukan soal menang, melainkan soal memahami dan menikmati prosesnya. Dan Bu Rina tahu, itulah prestasi sejati yang seharusnya dikejar oleh setiap sekolah.


Ditulis untuk blog pendidikan — sebagai refleksi bagi para pendidik dan orang tua agar tidak melupakan hak anak untuk belajar dan bermain.

Posting Komentar

0 Komentar