Ticker

6/recent/ticker-posts

Kabar Gembira Untuk guru di hari guru

 Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus yang menimpa guru sering menjadi berita nasional: guru dilaporkan orang tua karena menegur siswa, kriminalisasi akibat miskomunikasi, hingga proses hukum yang menguras tenaga dan emosi pendidik. Situasi ini memunculkan rasa was-was, bahkan ketakutan, bagi banyak guru dalam menjalankan tugasnya.

Kabar baiknya, pemerintah melalui Menteri Dikdasmen dan Kapolri baru saja menandatangani kebijakan penting yang memperkuat penggunaan restorative justice dalam penyelesaian kasus yang melibatkan guru dan peserta didik. Kebijakan ini menjadi harapan baru bagi dunia pendidikan agar masalah di sekolah tidak selalu berujung pada proses hukum yang panjang dan memberatkan.



Apa Itu Restorative Justice dan Mengapa Penting untuk Guru?

Restorative justice merupakan pendekatan penyelesaian masalah yang lebih mengutamakan musyawarah, dialog, pemulihan hubungan, dan pembelajaran, bukan penghukuman.

Dalam konteks pendidikan, pendekatan ini sangat relevan karena:

  1. Sekolah adalah ruang tumbuh, bukan ruang hukum.

  2. Konflik antara guru, siswa, dan orang tua seringkali hanya masalah komunikasi.

  3. Proses hukum kerap membuat trauma siswa dan guru.

  4. Restorative justice menempatkan semua pihak sebagai manusia yang ingin dipahami dan diperbaiki, bukan “tersangka” atau “korban” semata.

Dengan adanya kebijakan terbaru, polisi diberikan dasar yang lebih kuat untuk mendahulukan mediasi saat muncul laporan tentang guru, terutama pada kasus yang terjadi dalam konteks pendidikan dan tidak membahayakan keselamatan.

Isi Kebijakan: Perlindungan bagi Guru yang Mendidik dengan Hati

Poin-poin penting dari kebijakan Mendikdasmen dan Kapolri antara lain:

1. Mediasi sebagai Langkah Utama

Setiap kasus yang muncul antara guru dan siswa/orang tua wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui restorative justice di tingkat sekolah.

2. Guru yang Bertindak Sesuai Tugas Tidak Dipidana

Tindakan mendidik seperti menegur, memisahkan siswa yang berkelahi, atau memberi konsekuensi pendidikan tidak boleh langsung dianggap tindak pidana.

3. Kolaborasi Sekolah–Orang Tua–Polisi

Sekolah difasilitasi untuk membuat forum musyawarah sehingga konflik tidak membesar.

4. Penanganan Hukum Hanya untuk Kasus Berat

Kasus yang mengandung unsur kekerasan berat, pelecehan, atau kriminal murni tetap diproses sesuai hukum, tetapi tetap membuka ruang dialog dan pemulihan.

Kebijakan ini memberikan napas lega kepada guru yang selama ini merasa dibayangi ketakutan ketika ingin menegakkan disiplin.

Opini: Sudut Pandang Guru

Sebagai guru, saya melihat kebijakan ini sebagai titik balik penting dalam upaya memulihkan marwah pendidikan. Guru bukan dewa, tetapi juga bukan musuh. Kami bekerja dengan hati, dengan segala dinamika emosi, tekanan, dan tanggung jawab mendidik karakter generasi bangsa.

Selama ini, ketakutan untuk bertindak sering membuat guru serba salah. Menegur salah, diam pun salah. Pada titik tertentu, kami seperti berjalan di antara dua jurang: tuntutan profesionalisme dan risiko kriminalisasi.

Dengan hadirnya pendekatan restorative justice yang diperkuat secara formal, saya merasa:

1. Pemerintah Hadir Melindungi

Ada pengakuan bahwa pekerjaan guru rentan dan membutuhkan payung perlindungan.

2. Pendidikan Kembali ke Ruhnya

Pendidikan adalah ruang dialog, bukan ruang pidana. Kesalahan menjadi kesempatan untuk belajar, bukan langsung dihukum.

3. Hubungan Guru–Orang Tua Lebih Sehat

Orang tua diharapkan tidak reaktif, tetapi mau duduk bersama. Guru pun belajar lebih bijaksana dalam komunikasi.

4. Guru Bisa Mendidik dengan Lebih Tenang

Disiplin tetap bisa ditegakkan tanpa rasa takut — selama dilakukan dengan cara manusiawi dan sesuai kode etik.

Tentu, restorative justice bukan berarti guru bebas berbuat sesuka hati. Sebaliknya, ini adalah panggilan bagi kami untuk terus profesional, reflektif, dan berempati. Restorative justice adalah perlindungan, tetapi juga pengingat.

Posting Komentar

0 Komentar